Selamat datang!!

Selamat Datang digubuk Rahmeen yang sederhana ini, Selamat membaca ^_^

Pilih Kategori

Kamis, 04 April 2013

Pendidikan dan kemenangan kaum liberal

imagesGlobalisasi telah berhasil mengkonstruksi tatanan dunia yang benar-benar baru, yang menjadikan ruang dan waktu semakin tak relevan. Dunia yang oleh Thomas L. Friedman disebut sebagai ‘dunia yang datar dan tak lagi bulat’. Globalisasi bagaikan kuda hitam yang berlari kencang menerobos rintangan seperti sistem politik, ekonomi, norma, budaya, dan pendidikan. Ketika globalisasi menerobos ‘halangan-halangan’tersebut, pastilah disispi upaya penetrasi ideologi dari negara core state seperti AS dan brain washing pola pikir masyarakat negara berkembang sebagai peripheral state, seperti Indonesia. Proses penetrasi ideologi ini semakin embodied ketika pemerintah sebagai policy maker dan regulator meligitimasi praktik-praktik penetrasi itu.

Salah satu praktik penetrasi ideologi yang mengancam Indonesia adalah neoliberalisme. Neoliberalisme adalah ‘anak kandung’ ideologi kaum libertarian-Smithian yang percaya bahwa free market mechanism adalah jalan terbaik menuju kemakmuran. Kaum neoliberal juga percaya bahwa semakin sedikit peran negara, maka perekonomian negara akan semakin baik sehingga privatisasi, liberalisasi dan deregulasi adalah kebijakan yang niscaya mereka ambil. Terkadang, kaum neoliberal lebih menjadi seorang ideolog daripada ilmuwan. Kepercayaan terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil menjadikan kebijakan tersebut seolah-olah statis dan dogmatis.
Kebijakan Kaum Neoliberal
Dengan dalih daya saing, competitiveness, dan kompetisi global, pemerintah memutuskan keberpihakan ideologinya di sektor pendidikan pada kaum neoliberal. Ini terlihat dari kebijakan pemerintah terkait privatisasi dan liberalisasi pendidikan seperti:
Pertama, Perpres No.76 dan No.77 tahun 2007. Setelah mengesahkan UU No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pemerintah mengesahkan Perpres No.76 tahun 2007 terkait kriteria dan persyaratan bidang usaha tertutup dan terbuka dalam penanaman modal dan Perpres No.77 tahun 2007 mengenai 25 bidang usaha tertutup dan 291 bidang usaha terbuka bagi penanaman modal domestik dan asing. Melalui Perpres itu, pemerintah mengategorikan ‘bidang usaha’ pendidikan, yakni pendidikan dasar, menengah dan tinggi dalam kategori bidang usaha terbuka dengan persyaratan kepemilikan modal luar negeri maksimal 49%.
Perpres ini secara tak langsung mengubah paradigma pendidikan nasional. Pemerintah secara sadar menempatkan pendidikan bukan sebagai kewajiban negara untuk ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ seperti yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, melainkan sebagai ‘bidang usaha’ (business oriented). Padahal pendidikan bukan sekedar transfer knowledge and skills dimana peserta didik membayar jasa atasnya. Pendidikan adalah proses transformasi sosial budaya, penanaman nilai-nilai luhur bangsa, semangat cinta tanah air dan pengembangan pelestarian budaya bangsa.
Perpres ini secara radikal mengubah pengelolaan pendidikan nasional. Pertama, sebagai bidang usaha terbuka, pemerintah membagi peranannya dengan pemilik modal domestik serta asing. Artinya, kepemilikan dan pengelolaan pendidikan didasarkan besarnya modal yang diinvestasikan. Kedua, institusi penyedia pendidikan harus berbentuk badan hukum terpisah dari birokrasi pemerintah. Implikasi Perpres ini adalah dibentuknya UU Badan Hukum Pendidikan mengenai pengelolaan usaha pendidikan.
Kedua, UU Badan Hukum Pendidikan. Disahkannya UU BHP menisbatkan posisi pemerintah sebagai penganut kebijakan kaum neoliberal. Dalam UU BHP, ditetapkan pemisahan entitas kekayaan pemilik dan pendiri dalam penyelenggaran pendidikan. Jika pendirinya adalah pemerintah maka kekayaan institusi pendidikan terpisah dari pemerintah. Artinya, jika suatu saat institusi pendidikan yang dibangun pemerintah pailit atau bangkrut, pemerintah tak punya kewajiban menyelamatkannya. Bisa dibayangkan seandainya UI, IPB, ITB dan UGM sebagai BHP pailit, pemerintah dapat ‘lepas tanggung jawab’. Mungkin ekstrim, tapi dapat terjadi dengan mekanisme pendanaan dalam UU BHP. Dalam UU BHP pasal 42 ayat 1 disebutkan bahwa BHP penyelenggara Pendidikan Tinggi dapat melakukan investasi di portofolio (dengan maksimum modal asing 49%). Pendanaan ini rentan terhadap volatilitas keuangan BHP tersebut. Pasal ini juga secara tak langsung menghalalkan pengkomersialisasian aset-aset institusi pendidikan tersebut. Secara keseluruhan, pasal-pasal dalam UU BHP cenderung mendorong privatisasi dan liberalisasi pendidikan secara lebih luas.
Kebijakan pemerintah yang pro-neoliberal ini dipengaruhi pandangan WTO tentang sektor usaha produktif. WTO menempatkan pendidikan sebagai sektor usaha tersier (jasa) yang sangat menguntungkan sebagai komoditas perdagangan. Itulah yang dilakukan oleh AS, Inggris dan Australia yang menikmati profit besar dari sektor jasa pendidikannya. Bahkan, kontribusi sektor jasa pendidikan mereka melebihi kontribusi sektor primernya dalam PDB.Kesuksesan ketiga negara ini kemudian menjadi benchmark Indonesia dalam mengambil kebijakan. Karena itu Indonesia bergabung dengan WTO dan meratifikasi semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral menjadi UU No.7 tahun 1994. Dengan diratifikasinya perjanjian ini menjadi Undang-Undang, pemerintah secara konsisten melakukan privatisasi dan liberalisasi secara bertahap di sektor usahanya, termasuk juga pendidikan. Nantinya peran negara semakin berkurang dan para pemilik modal yang menguasai pasar beralih memegang kendalinya. Dan ketika pasar berhasil mengalahkan peran negara, disaat itulah neoliberalisme telah meneguhkan kemenangannya.
Oleh: Muhammad Kholid (Ketua Umum BEM FEUI 2009/Mahasiswa Ilmu Ekonomi 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar