Selamat datang!!

Selamat Datang digubuk Rahmeen yang sederhana ini, Selamat membaca ^_^

Pilih Kategori

Kamis, 04 April 2013

Kebijakan Pendidikan Neoliberal

neolib2Era global dapat dimaknai sebagai era dunia terbuka. Thomas Friedmen (dalam Tilaar, 2009) mengidentifikasikan tiga fase perkembangan dunia terbuka. Fase pertama ditandai oleh penemuan-penemuan dunia baru yang telah membuka perdagangan internasional yang lebih luas; fase keduaadalah perkembangan ilmu pengetahuan yang melahirkan industrialisasi, terutama di negara-negara barat; dan fase ketiga adalah dunia yang rata, ditandai dengan hilangnya batas-batas negara (transnasional) dan perdagangan bebas. Dalam fase ketiga inilah dunia benar-benar menjadi sebuah desa yang sangat besar berkat adanya kemajuan teknologi informasi dan internet yang telah mengubah cara pergaulan dan gaya hidup masyarakat dunia.

Dewasa ini, media massa seperti Televisi (TV), begitu leluasa menayangkan pemberitaan seputar kriminalitas, sinetron, film, infotainment, dan acara musik baik dari dalam maupun luar negeri yang dikonsumsi oleh masyarakat dari berbagai tingkat usia dan strata sosial. Conny R. Semiawan (dalam Yusuf, 2011) mengemukakan bahwa, “sayangnya tidak semua tontonan itu cocok ditonton oleh anak. Beberapa di antaranya bahkan ada yang bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan anak. Bukan hanya mengganggu terhadap jam belajarnya yang berkurang, tetapi lebih parah lagi dapat merangsang berkembangnya perilaku-perilaku negatif pada anak.”
Kemudian ditambah dengan adanya internet yang melahirkan tren Jurnalisme Warga (Citizen Journalism) sebagai konsekuensi dari lahirnya web 2.0 yang memungkinkan masyarakat pengguna internet menempatkan dan menayangkan konten dalam bentuk teks, foto dan video di dunia maya. Akibatnya, penyebaran nilai-nilai (posotif/negatif) terjadi secara masif. Demokrasi memang identik dengan kebebasan, namun harus dapat dipertanggungjawabkan. Karena demokrasi yang kebablasan akan menimbulkan potensi permasalahan sosial yang tinggi.
Tayangan-tayangan media massa yang setiap hari disuguhkan kepada masyarakat memiliki potensi untuk mereduksi nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) masyarakat dan secara perlahan menggantikan nilai-nilai tersebut dengan nilai-nilai asing yang tidak sesuai dengan karakter bangsa. Hal tersebut dapat kita lihat dari realitas sosial saat ini, di mana sebagian warga masyarakat, remaja khususnya lebih senang mengikuti budaya-budaya non-Indonesia dalam kehidupannya sehari-hari.
Berasumsi kepada pemaparan di atas, diperlukan adanya sinergitas, upaya yang serius, sistematis, dan berkelanjutan dari seluruh pihak terkait yang meliputi keluarga, masyarakat, dan pemerintah guna menuntaskan persoalan-persoalan pendidikan yang ada. Namun seluruh usaha perbaikan tersebut hanya dapat berlangsung dengan baik jika terdapat kebijakan-kebijakan pemerintah yang menjadi pandangan hidup bersama.
Kebijakan di sini berada dalam konteks yang lebih spesifik dan inhern antara kebijakan pendidikan dan kebijakan publik, karena secara substantif, kebijakan-kebijakan pemerintah dalam ranah pendidikan dan ranah publik yang selama ini ada cenderung berjalan masing-masing; tidak menyatu satu dengan lainnya. Contohnya riilnya adalah kebijakan pemerintah dalam mendirikan KPI dan lahirnya UU ITE. Meskipun keduanya bertujuan untuk mereduksi hal-hal negatif yang dapat ditimbulkan dari tayangan-tayangan media massa dan internet, namun itu masih bersifat umum, belum menyentuh harapan pendidikan. Sinetron-sinetron yang menampilkan anak-anak usia SD dan menengah yang berpacaran, berpenampilan menor di sekolah, memakai barang-barang mewah, berbahasa tidak santun, melawan kepada orang tua dan guru, dan sosok guru yang tidak berwibawa adalah konten-konten yang seharusnya mendapat penekanan secara khusus dalam kebijakan-kebijakan tersebut. Karena sejatinya hal-hal tersebutlah yang menjadi penyebab utama rusaknya bangunan karakter manusia Indonesia di era digital saat ini.
Tilaar (2009) berpendapat bahwa, infiltrasi paham neoliberalisme dalam ranah pendidikan telah mengakibatkan terjadinya benturan antara idealisme pendidikan dengan tuntutan-tuntutan pragmatis dari era globalisasi yang didominasi paradigma ekonomi. Sehingga kebijakan-kebijakan pendidikan yang lahir pun lebih bersifat materialistis; Money oriented.
(sumber : http://islamsiana.com/kebijakan-pendidikan-neoliberal-1654 : diakses 4 April 2013)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar